![]() |
Hari ini 6 Oktober 2020, dalam tulisan singkat ini ku muat kisah yang bercerita tentang pengalaman hidup ku sebagai seorang anak perempuan yang tumbuh dengan segala keterbatasan, kekecewaan dan luka yang dalam.
Sejak 7 tahun yang lalu aku telah resmi menjadi yatim piatu. Aku lahir di dalam keluarga yang tidak harmonis, dari rahim seorang perempuan hebat namun dengan nasibnya yang kurang beruntung. Bapak dan ibu ku bercerai setelah ibu jatuh sakit diusia ku yang genap berumur 2 tahun. Cerita yang ku dengar adalah bahwa ibu jatuh dikamar mandi sesaat setelah memandikan ku. Setelah dirawat, dokter memvonis ibu mengalami struk sebelah badan. Artinya adalah, hanya organ tubuh ibu sebelah kanan yang dapat berfungsi.
Mengenang anaknya yang sakit, nenek yang biasa ku panggil “mbah” bertolak dari kampung untuk menjenguk anak sulungnya tersebut. Melihat kondisi ibu yang tak berdaya, mbah yang seorang single parent tak tega untuk meninggalkan anaknya begitu saja, sementara di kampung masih ada adik-adik ibu yang masih kecil juga membutuhkan kehadiran mbah yang saat itu juga menjadi tulang punggung sekaligus kepala keluarga. Dengan niat yang mulia, mbah menyampaikan maksudnya kepada bapak untuk membawa ibu pulang ke kampung, mengingat bahwa bapak juga bekerja dan tidak ada yang dapat mengurus ibu di rumah dan aku yang masih balita. Bapak pun setuju waktu itu. Namun ketika semua telah bersiap-siap, konflik pun bermula. Entah siapa dan dari mana pun entah bagaimana awalnya, yang ku ingat saat itu adalah bapak yang dulu selalu menjadi menantu kesayangan mbah alih-alih menjadi orang yang sangat dibenci. Mbah sangat sakit hati dan tak sudi beliau menerima bapak kembali. Bahkan ketika bapak datang ke kampung bermaksud untuk menjemput aku dan ibu, mbah melarang keras. Ketika bapak bersujud meminta maaf pun mbah tetap tak bergeming. Hingga bapak akhirnya menyerah dan pulang ke kota yang tak lama kemudian hadirlah ibu tiri.
Disinilah awal mula hidup ku hancur. Meskipun saat itu, umur ku masih terlalu belia untuk memahami segala permasalahan yang ada, namun cukup buat ku mengerti bahwa hidup ku selanjutnya takkan seindah dulu. Rasa iri dan marah bercampur aduk. Entah kepada siapa aku harus marah. Aku kehilangan segalanya. Aku merasa semuanya tak adil. Dan tanpa sadar aku terus melampiaskan segala kekesalan ku pada ibu. Perempuan yang saat itu sakit secara fisik, pun demikian dengan batinnya. Tapi aku tak pernah memperdulikannya. Hingga tiba saat Illahi menjemput, aku masih tak berada disampingnya. Menyesal ? Sangat. Aku sangat menyesal sampai detik ini. Terlebih lagi rasa bersalah yang semakin besar ketika aku membongkar lemari sekadar merapikan pakaiannya.
Dalam
sebuah dompet kecil berwarna merah batu bata yang kuncinya tak lagi berfungsi dengan
benar, terdapat 3 lembaran kertas lusuh keabu-abuan yang mulai termakan usia.
Kalau boleh ku tebak, kertas itu adalah pemberian bapak yang berisi surat untuk
ibu. Surat yang berisi tentang permintaan cerai bapak kepada ibu. Lutut ku
terasa begitu ngilu saat membaca kata demi kata yang dirangkai lewat tulisan
tangan bapak. Saat itu juga aku benci bapak. Begitu teganya bapak, meninggalkan
kami terutama ibu yang saat itu dalam keadaan tak berdaya. Namun, ibu menutup
rapat hatinya yang hancur atas perlakuan bapak tanpa seorang pun yang tau,
termasuk aku. Dalam ingatan ku, disepanjang hidupnya tak pernah sedikitpun ibu
menjelek-jelekkan bapak bahkan selalu memuji bapak. Sungguh lapang dan besar
hati ibu.
Sepeninggal ibu, aku tetap tinggal bersama mbah dan adik-adik ibu. Tak seperti teman-teman seusia ku yang dengan indahnya menikmati masa-masa muda mereka. Aku lebih banyak di rumah dengan segala pekerjaan rumah yang harus aku selesaikan tentunya. Memang benar, semasa kecil aku tak pernah merasa bahagianya menjadi anak-anak. Terutama saat aku mulai sekolah, ketika teman-teman ku diantar-jemput oleh orang tuanya, aku hanya diajarkan jalan kaki sendiri oleh mbah. Itupun hanya sekali. Demikian halnya disaat-saat pembagian rapor tiba, aku akan menjadi orang yang paling terakhir di sekolah. Aku tidak diizinkan untuk keluar bermain. Jika pun ingin bermain, teman-teman yang harus datang kerumah ku pun dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Pergerakan ku selalu dipantau, ini tidak boleh apalagi itu. Tidak hanya itu, jika tiba waktunya pembagian rapor, aku akan disidang. Tak jarang koleksi komik maupun buku-buku ku disita dan dibakar ketika ternyata nilai-nilai dalam rapor ku tertulis dengan tinta merah. Pedihnya lagi adalah ketika seseorang mengumpatku sebagai anak sial atau anak pembawa sial. Namun, lagi-lagi aku hanya mampu menangis dalam diam sambil memaki dan membatin. Tak terhitung berapa kali aku mengutuk pada sang Kuasa atas ketidakadilan yang ku alami ini.
Setelah pengumuman kelulusan SMA, aku kembali pulang ke kota kelahiranku guna menyambung pendidikan sebagai seorang sarjana. Kepulangan ku ini pun menghadirkan konflik diantara bapak dan ibu sambung ku. Bapak yang semula ku benci, sebisa mungkin datang menemui ku membawa setumpuk rasa bersalahnya. Bapak berusaha menjelaskan semuanya bahwa memang beliau bersalah. Bersalah pada ibu, aku dan terutama kepada mbah. Beliau bercerita betapa bodohnya beliau dahulu harus percaya kepada orang-orang keji yang memang dengan sengaja menghasut demi kehancuran keluarga kami. Masih membekas dalam benak, ketika buliran air matanya yang menggenang dan tumpah dihadapan ku yang hanya diam termangu tanpa sepatah kata pun walau hanya untuk sekedar menghibur.
Semasa kuliah, aku memang tidak tinggal serumah bersama bapak. Disamping menjaga pesan terakhir dari ibu, karena aku juga tak ingin berkonflik panjang dengan ibu sambung ku yang selalu ingin memisahkan bapak dengan anak-anaknya. Sikap ku ini bukan sekedar sebagai bentuk pendewasaan diri tapi sesungguhnya karena memang aku sudah cukup lelah dan ingin menikmati masa-masa kuliah disini serta masa-masa yang tak pernah ku nikmati sebelumnya. Segala hal yang dulu ingin kulakukan ku rangkum menjadi satu dalam sebuah note. Alih-alih mengeksekusinya, aku malah terlalu betah mengurung diri dalam kamar kos-kosan berukuran 3x2,5 m dan terlarut dalam tumpukan buku yang menggunung. Rutinitas inilah yang menghabiskan hari-hari libur kuliah ku.
Hingga tiba aku diwisuda, bapak dengan tubuhnya yang ringkih, lemah dan batuk-batuk akibat jantungnya yang sekarat memaksa untuk tetap mengantar ku dan memacu mobilnya dengan penuh kegembiraan. Selintas ku lihat beliau acap kali tersenyum bangga atas kelulusan ku ini. Kebanggaannya tersebut beliau perlihatkan kepada setiap orang yang ditemuinya. Betapa tidak, aku mampu menyelesaikan masa study tepat pada waktunya dan bisa dibilang cepat karena memang untuk jurusan ku sulit untuk lulus dibawah 5 tahun.
Menjelang hari wisuda, mbah dan adik-adik ibu juga datang dari kampung untuk ikut menyaksikan ku berdiri di atas podium dengan setelan toga yang membanggakan. Tak dapat dipungkiri, raut bangga pun tersirat jelas di wajah mereka.
Selepas acara wisuda ku, ternyata bapak datang ke tempat mbah menginap tanpa sepengetahuan ku. Bapak langsung bersujud dan mencium kaki mbah berkali-kali. Bapak menangis, mbah pun demikian. Begitu banyak yang mbah ucapkan tapi tak perlu menunggu lama mbah langsung mengangkat tubuh kurus bapak berdiri dan memeluknya. Ya mbah sudah memaafkannya.
Lagi-lagi aku menikmati pemandangan menyejukkan. Begitu besar hati mbah untuk memaafkan bapak. Luka yang selama ini meradang dan mengoyak perih seketika sirna dengan sempurna hanya dengan kata “maaf”. Ibu adalah perempuan hebat yang tentu saja lahir dari rahim perempuan yang hebat pula. Mbah, aku bangga menjadi cucu mu.
Selang 7 bulan pasca wisuda, bapak menghembuskan napas terakhirnya dengan damai, meninggalkan aku yang bingung tentang bagaimana hidup ku esok dan hari-hari berikutnya. Namun, aku kembali berkaca pada sekeliling ku.
Sejak saat itulah aku berusaha untuk tegak berdiri menjadi diri ku sendiri. Tanpa sadar segala hal yang diajarkan oleh mbah, paman dan bibi ku selama aku di kampung begitu berguna selama mengenyam hidup sendiri di kota ini. Terutama dalam mental dan penjagaan diri, aku mampu membuat batasan dan keputusan baik buruk atas segala sesuatu. Mungkin inilah makna ketulusan dan kasih sayang mereka terhadap ku melalui didikan ketat yang selama ini aku jalani. Mereka mengasihi dan membekali ku dengan segala macam hal, seolah-olah mereka telah menebak bahwa aku akan menghadapi masa-masa yang berat.
Aku bersyukur dengan itu semua, dengan setiap ketulusan mereka yang takkan pernah mampu aku membalasnya. Terlebih disaat aku menikah di umur ku genap 25 tahun yang lalu, tampak paman dan bibi-bibi ku menangis haru mengenang seorang anak yang susah payah mereka besarkan sejak dini kini dipersunting orang dan berharap kelak aku akan menjadi perempuan yang bahagia.
Hingga hari ini, aku masih belum mampu mengucapkan terima kasih kepada mereka, kepada mbah, ucu, anjang, mok, om dan tante-tante ku. Bukan karena enggan, tapi karena memang kekurangan ku yang tak terlalu pandai dalam berkata-kata. Hanya melalui sujud ku, permohonan atas kesehatan dan kebahagian dunia akhirat untuk mereka yang telah berjasa besar dalam perjalanan hidup ku yang berat.
Ketulusan dan kasih sayang mereka yang takkan pernah bisa terbalas dengan apapun. Ketulusan dan kasih sayang mereka jua lah yang juga menyadarkan ku disaat terpuruk dan jatuh bahwa aku tidak sendiri. Mata dan hati mereka akan terus mengawasi ku untuk tetap kuat menjalani hari yang akan kembali memberatkan.
Sekali lagi, aku adalah manusia yang paling beruntung. Dan dengan batin ku bersumpah, bahwa aku akan menjadi seperti mereka. Seperti bapak, ibu, mbah dan seluruh orang-orang baik yang pernah singgah dan berjasa besar dalam hidup ku. Dari mereka aku belajar bagaimana seharusnya menjadi manusia yang mampu berbesar hati untuk meminta maaf dan melapangkan hati untuk memaafkan. Luka yang mendalam itu tak harus menjadi nanah terus menerus.
Hingga detik ini, aku berusaha untuk terus memaafkan agar mampu berdamai dengan diri hingga siap untuk menjadi pribadi yang berarti.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar