Jumat, 27 November 2020

KAMBOJA DI TAMAN DJIWA KU






Pagi yang sendu. Termangu lesu pada tanah basah di atas pusara anak sulungku, berhampar kamboja indah berwarna. Ingin menangis, tapi rasanya melelahkan. Sesak yang terus menyemak dalam diam. Dalam kesempatan ini, bolehlah sedikit aku bercerita tentang pengalaman hidup sebagai seorang ibu dari seorang anak perempuan yang lahir dengan segala keterbatasan, tapi sarat akan nilai-nilai kemanusiaan. Semua berawal dari keinginan untuk memiliki, hingga berakhir pada keikhlasan untuk ditinggalkan pergi.

***

Dhuhayu Nasywah Atharrazka (9 bulan 8 hari).

Perempuan cerdas nan anggun. Lahir di penghujung salat Duha, yang membawa kebahagiaan, keceriaan dan pembawa rezeki yang bersih.

Demikianlah namamu tercipta dengan maksud menjelaskan siapa dirimu sebenarnya. Nama yang tercipta tersebut, tak serta-merta ada di waktu kau akan maupun setelah kau lahir. Namun ... jauh sebelum itu, seakan semesta ingin kau memiliki nama itu. Terima kasih, Sayang. Kau memberikan waktu dan jejak kenangan indah untuk dikenang, tanpa harus membuat kami berkesusahan. Mama tahu di hari kedua kau lahir, sesungguhnya kau sudah tak ingin melanjutkan. Namun karena Mama memaksa, kau kuatkan jiwa dan ragamu untuk menemani, hingga waktu benar-benar telah tiba.

Waktu itu Mama egois. Mama pura-pura tidak paham bahwa engkau juga menahan sakit di dalam, meskipun tak pernah engkau tunjukkan. Melalui skenario yang kau susun rapi ini, engkau mempermudah langkah kami untuk berusaha semaksimal mungkin agar tak menyesal di kemudian hari. Hingga di akhir hidupmu pun, kau tak membiarkan kami kekurangan suatu apa pun seperti apa yang orang-orang khawatirkan.

Kau tuntun kami tanpa pernah terhenti di batas kebuntuan. Selalu ada jalan. Selalu ada napas lega. Maafkan kami, Nak. Dengan harapan fana yang kami buat, ternyata terlalu egois untuk bisa kau kabulkan lagi.

Sayang ... tak banyak yang bisa Mama ungkapkan saat ini, karena memang Mama tak terlalu pandai bercakap panjang lebar tentang ini semua. Bahkan dalam sujud pun, Mama bingung, apa yang harus dipanjatkan lagi. Mama hanya mampu menulis dan menulis. Allah teramat sayang denganmu, melebihi sayang kami kepadamu, sehingga tak ingin berlama-lama melihatmu tersiksa di dunia ini.

Tak apalah, Nak. In Sya Allah kami ikhlas dan Mama berjanji, mulai hari ini, tak akan lagi berduka atas kepergian dirimu. Indah dirimu sudah terekam di ruang terdalam hati kami dan memori itu yang akan terus menjadi pembangkit hidup kami di kala subuh membangunkan kami. Kami janji, Nak. Kami akan membuatmu bangga. Hingga di sana, kau pun mampu membanggakan kami pada teman-temanmu.

***

Begitulah isi tulisanku di malam ketiga kepergianmu. Jangan diukur berapa banyak air mata yang harus disapu, berapa banyak tisu yang harus menumpuk dan berapa banyak manusia yang hilir mudik ke hadapanku, hanya untuk sekadar berucap, Jangan ditangisi. Dia sudah tenang. Dia tak akan sakit lagi.

 Atau ... “beruntung kalian, sudah ada bekal di sana. Dia yang akan menarik tangan orang tuanya nanti masuk ke surga,” lanjut mereka.

Beruntung?

Aku selalu membatin tiap mendengar kalimat itu. Bukan satu-dua orang yang berucap seperti itu, hingga aku mulai emosi dibuatnya.

Hei... ayolah! Jangan sembarangan mengurai kata hanya dengan alasan untuk menghibur. Kami tidak terhibur. Kami tidak beruntung. Orang tua mana yang sanggup untuk merasa beruntung di saat mereka sendiri yang menggendong tubuh kaku anaknya masuk ke liang lahat?

Sumpah, bukan ini yang kami harapkan. Bukan ini yang aku inginkan. Kalau boleh kita kembali ke masa-masa itu, masa di mana aku dan ayahnya bertekad keras dengan segala daya upaya kami untuk kesembuhannya, kebahagiaannya, masa depannya. Namun ternyata, semua yang kami ajukan kepada Illahi Robbi, tak mampu untuk dikabulkan lagi. Mungkin terlalu banyak yang kami minta saat itu. Hingga kami pun berserah kembali pada-Nya atas takdir hidup kami selanjutnya. 

Maha Suci Allah dengan segala kuasanya, lima bulan selepas kepergian anak perempuanku, Allah kembali menawarkan masa depan yang indah. Sembilan bulan mengandung, lahirlah seorang anak laki-laki yang In Sya Allah kami namakan dia Rimbun Rangkabumi.

Tanggal dan bulan kelahirannya tepat di hari kepergian sulung kami. Dalam namanya tersebut, kami selipkan doa. “Semoga engkau dapat menjadi peneduh dan penguat bagi bumi-Nya, sebagai bentuk syukur kita kepada Sang Kuasa.

Tak henti-hentinya kami mengucap syukur. Tak henti-hentinya kami ... ah, sudahlah. Tak mampu kurangkaikan lagi nikmat ini. Allahu Akbar. Inilah masa depan indah yang Allah janjikan atas keikhlasan kami dalam menerima setiap ujian dari-Nya.

Allahu Akbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERHENTI BERKATA TIDAK, PEREMPUAN HARUS HEBAT DAN BERMARTABAT !

  Feminisme bukan tentang membuat perempuan lebih kuat. Perempuan sudah kuat. Ini tentang mengubah cara dunia memandang kekuatan itu.  – G.D...