***
Dhuhayu Nasywah Atharrazka (9 bulan 8 hari).
Perempuan cerdas nan anggun. Lahir di penghujung salat Duha, yang membawa kebahagiaan, keceriaan dan pembawa rezeki yang bersih.
Waktu itu Mama egois. Mama pura-pura tidak paham bahwa
engkau juga menahan sakit di dalam, meskipun tak pernah engkau tunjukkan. Melalui skenario yang
kau susun rapi ini, engkau
mempermudah langkah kami untuk berusaha semaksimal mungkin agar tak menyesal di kemudian hari. Hingga
di akhir hidupmu pun, kau tak membiarkan kami kekurangan suatu apa pun seperti apa
yang orang-orang khawatirkan.
Kau tuntun kami tanpa
pernah terhenti di batas
kebuntuan. Selalu ada jalan. Selalu ada napas lega. Maafkan kami, Nak. Dengan harapan fana
yang kami buat, ternyata
terlalu egois untuk bisa kau kabulkan lagi.
Sayang
... tak
banyak yang bisa Mama ungkapkan saat ini, karena memang
Mama
tak terlalu pandai bercakap panjang lebar tentang ini semua. Bahkan dalam sujud
pun,
Mama bingung, apa yang harus dipanjatkan lagi. Mama hanya mampu menulis dan
menulis. Allah teramat sayang
denganmu, melebihi
sayang kami kepadamu,
sehingga tak ingin berlama-lama melihatmu tersiksa di dunia ini.
Tak
apalah, Nak.
In Sya Allah kami ikhlas dan Mama berjanji, mulai hari ini, tak
akan lagi berduka atas kepergian dirimu.
Indah dirimu sudah terekam di ruang
terdalam hati kami dan
memori itu yang akan terus menjadi pembangkit hidup kami di kala subuh membangunkan
kami. Kami janji,
Nak. Kami
akan membuatmu bangga. Hingga di sana, kau pun mampu
membanggakan kami pada teman-temanmu.
***
Begitulah isi
tulisanku di malam
ketiga kepergianmu. Jangan diukur berapa banyak air mata yang harus disapu,
berapa banyak tisu yang harus menumpuk dan berapa banyak manusia yang hilir
mudik ke hadapanku,
hanya untuk sekadar berucap,
“Jangan ditangisi. Dia
sudah tenang. Dia tak akan sakit lagi.”
Atau ... “beruntung kalian, sudah ada bekal di sana.
Dia yang akan
menarik tangan orang tuanya nanti masuk ke surga,” lanjut mereka.
Beruntung?
Aku selalu
membatin tiap mendengar kalimat itu. Bukan satu-dua orang yang berucap seperti
itu,
hingga aku mulai emosi dibuatnya.
Hei... ayolah! Jangan sembarangan mengurai kata hanya
dengan alasan untuk menghibur. Kami tidak terhibur. Kami tidak beruntung. Orang
tua mana yang sanggup untuk merasa beruntung di saat mereka sendiri yang
menggendong tubuh kaku anaknya masuk ke liang lahat?
Sumpah, bukan ini yang kami harapkan. Bukan ini yang aku inginkan. Kalau boleh kita kembali ke masa-masa itu, masa di mana aku dan ayahnya bertekad keras dengan segala daya upaya kami untuk kesembuhannya, kebahagiaannya, masa depannya. Namun ternyata, semua yang kami ajukan kepada Illahi Robbi, tak mampu untuk dikabulkan lagi. Mungkin terlalu banyak yang kami minta saat itu. Hingga kami pun berserah kembali pada-Nya atas takdir hidup kami selanjutnya.
Maha
Suci Allah dengan segala kuasanya, lima bulan selepas kepergian anak perempuanku,
Allah kembali menawarkan masa
depan yang indah. Sembilan bulan mengandung, lahirlah seorang anak laki-laki
yang In Sya Allah
kami namakan dia Rimbun Rangkabumi.
Tanggal dan
bulan kelahirannya tepat di hari kepergian sulung kami. Dalam namanya tersebut,
kami selipkan doa.
“Semoga engkau dapat menjadi peneduh dan penguat bagi bumi-Nya, sebagai bentuk
syukur kita kepada Sang
Kuasa.”
Tak henti-hentinya kami mengucap
syukur. Tak henti-hentinya
kami ... ah, sudahlah. Tak mampu
kurangkaikan lagi nikmat ini. Allahu
Akbar. Inilah masa depan indah yang Allah janjikan atas keikhlasan kami dalam menerima setiap ujian dari-Nya.
Allahu Akbar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar